Minggu, 17 April 2011

SOSIOLOGI PEDESAAN



I.PENDAHULUAN

Dewasa ini pembangunan daerah-darah pedesaan sangatlah gencar dilakukan oleh pihak pemerintah maupun pihak-pihak swasta.pembangunan ini tidah hanya berfokus pada pembangunan infrastruktur saja,namun pembangunan yang dimaksud dalam hal ini adalah pembangunan yang menyangkut semua aspek kehidupan masyarakat.baik pembangunan dalam segi ekonomi,kesehatan,pendidikan dan lain sebagainya.
Berbagai cara dilakukan pemerintah,agar masyarakat desa dapat dirangsang untuk mengenal apa yang kurang dari dirinya sendiri,dan akhirnya berkembang lebih baik dalam memperbaiki kehidupan mereka.ini semata-mata untuk menciptakan pemerataan pembangunan,sebagai mana yang termaktub dalam dalam sila ke lima pancasila.
Dengan adanya materi perkuliahan sosiologi pedesaan,diharapkan diharapkan agar mahaasiswa memahami tentang bagaimana system-sistem dalam upaya untuk memngembangkan masyarakat desa,sehingga nantinya setelah mereka lulus dapat mengaplikasikannya ke masyarakat.sehingga bias tercipta pemerataan pembangunan yang selama ini belum bisa dicapai pemerintah.









II.SOSIOLOGI DAN PEDESAAN
A. Konsep sosiologi
Konsep atau definisi sosiologi sangatlah beraneka ragam,namun ada beberapa hal atau bagian yang dapat diterima tanpa berselisih pendapat bahwa sosiologi merupakan suatu ilmu yang mengamati,mempelajari dan menjelaskan perilaku manusia didalam kelompoknya dan hubunganya dengan kelompok-kelompok lain .
Berikut beberapa definisi tentang sosilogi menurut beberapa ahli ssosiologi:
1. Emile Durkheim
Sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari fakta-fakta sosial, yakni fakta yang mengandung cara bertindak, berpikir, berperasaan yang berada di luar individu di mana fakta-fakta tersebut memiliki kekuatan untuk mengendalikan individu.
2. Selo Sumardjan dan Soelaeman Soemardi
Sosiologi adalah ilmu kemasyarakatan yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan sosial.
3. Soejono Sukamto
Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada segi-segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat.
4. William Kornblum
Sosiologi adalah suatu upaya ilmiah untuk mempelajari masyarakat dan perilaku sosial anggotanya dan menjadikan masyarakat yang bersangkutan dalam berbagai kelompok dan kondisi.
5. Allan Jhonson
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku, terutama dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagaimana sistem tersebut mempengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat didalamnya mempengaruhi sistem tersebut.
6. Menurut Roucek & Waren, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dengan kelompok sosial.
7. Menurut Soerjono Soekanto, sosiologi adalah ilmu yang kategoris, murni, abstrak, berusaha mencari pengertian-pengertian umum, rasional, empiris, serta bersifat umum.
8. Pitirim Sorokin
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya gejala ekonomi, gejala keluarga, dan gejala moral), sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala non-sosial, dan yang terakhir, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial lain.
9. Roucek dan Warren
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok.
10. William F. Ogburn dan Mayer F. Nimkopf
Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi sosial.
12. Max Weber
Sosiologi adalah ilmu yang berupaya memahami tindakan-tindakan sosial.
13. Paul B. Horton
Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan penelaahan pada kehidupan kelompok dan produk kehidupan kelompok tersebut.
Dari berbagai definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :
Kesimpulannya sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara individu dengan individu, individu dengan masyarakat, dan masyarakat dengan masyarakat.
Selain itu, Sosiologi adalah ilmu yang membicarakan apa yang sedang terjadi saat ini, khususnya pola-pola hubungan dalam masyarakat serta berusaha mencari pengertian-pengertian umum, rasional, empiris serta bersifat umum.

B. Konsep pedesaan
Terdapat dua pandangan tentang versi sosioogi pedesaan yaitu:
a. Pandangan yang lama/klasik ( primitive,trdisional,dan maju),dan
b. Pandangan yang baru( modern)
Pandangan klasik mulai dari historis dari pertanian,yaitu pertanian terjadi ketika manusia mulai mengambil peran dalam pertumbuhan tanaman , hewan dan mengaturnya untuk pemenuhan kebutuhannya.pada masa ini perubaha yang terjadi pada masyarakat masih sangatlah lamban.awal dari proses ini trbagi dalam beberapa fase,diantaranya diawali dari foof gathering atau yang sering kita sebut dengan berburu dan meramu,dan food producing yaitu berburu dan mengumpulakan makanan,dan bertani..food gathering berakhir karena semakin punahya hewan buruan pada saat itu sehingga munculan ide manusia untuk memenuhi kebutuhannya yaitu dengan melakukan system pertanian.ssistem pertanian dimulai dari system yang momaden kemudian ke system yang menetap.

Pandangan modern,adalah merupakan perkembangan sosiologi pedesaan di Negara-negara kapitalis –industri modern.berawal dari pertanian modern bahwa manusia mengunakan pemikiranya untuk meningkatkan penguasaannya terhadap semua factor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman dan hewan.usaha pertanian yang dilakukan sudah mengunakan metode-metode ilmiah,yakni dengan pengunaan teknologi pertanian berupa irigasi yang baik,pengunaan bibit unggul,pupuk-pupuk,dll

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih engkap mengenai pengertian defonitif pedesaan,berikut penjabaran dari beberapa ahli mengenai definisi sosioogi pedesaan:
a. Jhon.M.Gillette(1922) , sosiologi pedesaan adalah cabang sosiologi yang secara sistematik mempelajari komunitas-komunitas pedesaan untuk mengungkapkan kondisi-kondisi serta kecenderungan-kecenderungan ,dan merumuskan prinsip-prinsip kemajuan.
b. Dwight sanderson (1942) Sosiologi pedesaan adalah sosiologi tentang kehidupan dalam lingkungan pedesaan.
c. N.L.sims (1942) Sosiologi pedesaan adalah study tentang asosiasi antar aorang-orang yang hidupnya banyak tergantung pada pertanian.




III.KARAKTERISTIK MASYARAKAT PEDESAAN

A. Ciri-ciri masyarakat pedesaan
Seperti yang di uraikan di atas,bahwa apabila suatu desa belum dipengaruhi oleh kemajuan Tehnologi dan informasi,maka masyarakat tersebut masih dalam kehidupan yang tradisional.dalam kehidupan massyarakat yang massih tradisional masih memiliki karakteristik yang secara umum menurut Raucek dan Waren di pahami sebagai berikut:
a. Bersifat homogeny dalam hal mata pencaharian,nilai-nilai dalam kebudayaan ,serta dalam bersikap dan bertingkah laku.
b. Kehidupan di lingkungan anggota keluarga sebagai satu kesatuan unit usaha.
c. Masih digunakanya system musyawarah dalam mengambil keputusan
d. Hubunagan sesame anggota masyarakat lebih intim dan langeng.
e. Mobilitas sosialnya rendah
f. Populasi anak dalam proporsi yang lebih besar
B. Pola pemukiman masyarakat desa
Pola pemukiman masyarakat desa pada dasarnya sangat mudah untuk diketahui,jika ditinjau dari sudut pandang mata pencaharianya sebagai lat pemenuhan dasarnya sehari-hari.berdasarkan hal tersebut ada beberapa bentuk desa pada umumnya,yaitu: desa pertanian,desa industry,dan desa nelayan.
a. Tipe pola pemukiman masyarakat berladang
Ada empat tipe desa dari pola pemukimannya:
1. Tipe desa lading,yakni suatu desa dimana orang berdiam bersama dalam suatu tempat dengan sawah lading berada di sekitar tempat itu.
2. Tipe penyebaran desa lading,yakni suatu pemukiman masyarakat desa dimana sejumplah besar orang berdiam bersama dalam suatu tempat ,dan sebagian lainya menyebar diluar kelompok besar tersebut bersama sawah ladangnya.
3. Tipe pemukiman dikitar jalan penghubung pusat dea,yaitu suatu desa diamana masyarakat berdiam disekitar jalan-jalan yang berhubungan dengan pusat keramaian dan selebinya adalah sawah mereka.
4. Tipe penyebaran pemukiman berladang,yakni suatu masyarakat yang berdiam tersebar dimana-mana bersama sawah lading masing-masing
b. Pola perkembangan masyarakat
1. Desa tradisional,yaitu suatu desa yang kehidupan masyarakatnya masih bergantung sepenuhnya pada lingkungan.
2. Desa swadaya,desa ini masih relative statis tradisional,artinya masyarakaat nya sangat tergantung pada keterampilan dan kemampuan sendiri.dalam masyrakaat ini norma-norma masih sangat kuat.
3. Desa swakaryakeeberadaan desa ini sudah disentuh oleh aspek kehiddupan dari luar desa,yang dianggap adanya pembaharuan yang sudah mulai dirasakan oleh masyarakat.
4. Desa swasembada,keadaan desa pada pola ini sudah terlihat maju,mereka sudah mengenal mekanisme pertanian dan tekhnologi ilmiah telah mulai digunakan.
5. Desa pancasila,lahirnya desa pancasila ini pada masa orde baru ,dimana yang dikehendaki yaitu secara ideal yang dicita-citakan seluruh anggota masyarakat kepada pemimpin bangsa yaitu dengan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur









































IV.STRUKTUR SOSIAL
A. Corak sistem pertanian
System pertanian perladangan umunya mengunakan hutan sebangai media utama untuk pertanian,yakni dengan membabat hutan,terus dibakar dan ditanamai dengan tanaman.tetapi lama kelamaan system ini di anggap tidak baik antara lain karena:
a. Teknik tersebut dipakai didaerah tropis yang tidak subur
b. Peralatan yang digunakan masih sangatlah sederhana
c. Corak ini erat kaitanya dengan rendahnya kepadataan penduduk
d. Tingkat konsumsi yang dicapai juga rendah
Geertz C.and Conklin H.C (1962) dalam bukunya the study of shifting cultivation berpendapat bahwa cirri-ciri positif terhadap system berladang semacam itu:
a. Kalau disbanding dengan system irigasi ,system perladangan mencoba sebanyak-banyaknya manfaat lingkungan alam
b. System perladangan bercirikan sedikit spelialisasi dengan ragam hasil bumi yang dihasilkan serentak.
c. Karena tanah kurang subur perladangan peerlu zat hara yang dihasilkan oleh tanaaman dan vegetasi pohon.
B. Corak system persawahan
System irigasi pada pertanian sawah mengambil peran yang sangat penting dalam pencapaian usaha pertanian.ciri terpenting corak pertanian ini dalah kemampuan secara menetap mengusahakan ekosistem pertanian tanpa menurunkan kesuburan tanah .kemantaan kesuburan ini tetap terjaga karena peranan air pembawa unsure-unsur hara.daerah-daerah perladangan memang menujukan peluang untuk membangun pertanian mengingat
a. Umumnya imbangan orang terhadapp tanah masih mmenguntungkan
b. Petani bisa memproduksi bermacam-macam tanaman
c. Perladangan mampu menghasikan tanaman perdagangan
d. Struktur social di desa-desa belum menunjukan pola pemilikan tanah luas dan herarki social yang kuat


C. Hubungan social untuk produksi pertanian
Berikut ini dalah analisis struktur social berdasarkan pada suatu tipolgi beragam produksi pertanian:
a. Pertanian berasal dari system perekonomian
b. Pertanian “ ekonomi keluarga dengan pemilikan kecil” dengan sedikitnyya atau sama sekali tidak ada hubungan pemasaran
c. Pertanian” ekonomi keluarga”dengan orentasi pasar
d. Pemilikan tanah luas dengan pola produksi colonial
e. Pertanian kapitalis usaha nasional
f. Pertanian kapitalis,usaha asing
Beragam corak produksi pertanian itu dapat dibedakan ats tiga pokok cirri social ekonomi,yaitu:
1. Besarnya bagian produksi yang diasarkan uh dari struktur social dan corak pemasarranya
2. Tingkat dan corak intensifikasi dan tingkat permodalan dalam produksi
3. Corak penguasaan dan pengunaan surplus produksi

D. Hubungan struktur social masyarakat desa dengan pemerintah
1. Kelas-kelas social dalam birokrasi pemerintahan
Sejak pertengahan abad 19 struktur social masyarakat pada waktu itu dicemiankan oleh suatu pengaruh dari struktur social birokrasi pemerintah dan system social ikatan teritorial desa.dengan demikian pengelompokan kelas-kelas social dalam masyarakat dapat dibahas melalui garis-garis verrtikal dan horizontal.
Status wilayah administrative dilihat dari hubungan vertikanya dapat dibagi menjadi dua yaitu:
• Pertama : wilayah pemerintahan yang tidak langsung dipegang oleh penguasaan adat setempat,dan wilayah ini terdapat jabatan tertentu.
• Kedua: wilayah pemisahan yang langsunng dipegang oleh penguasa adat setempat.
System pemerintahan jenis kedua lebih otonom daripada jenis pertama ,sifat otonom ini mungkin karena ada unsure kekerabatan dari pihak penguasa.
2. Kelas – kelas social dalam ikatan territorial
Didalam pola konsentrik dalam disebutkan bahwasisitem kemasyarakatan merupakan kelas-kelas social yang terikat oleh ikatan keluarga dan ikatan territorial .pola sosialnya mengikuti jalur horizontal.dalam hubunganya dengan golongan petani,para ahli hokum adat pernah membagi masyarakat desa dijawa dalam tiga lapisan yaittu:
a. Petani yang tidak memiliki tanah pertanian dan tidak memiliki perkarangan untuk rumah.
b. Petani yang memiliki tanah pertanian ,tapi tidak memiliki perkarangan untuk rumah
c. Petani yang memiliki lahan pertanian dan perkarangan rumah
Para ahli lain membagi masyarakat desa di indoneesia dalam 5 katagori yaitu:
a. Buruh tani dan buruh perkebunan yang tidak mempunyai alat-alat produksi
b. Petani miskin yang tidak mempunyai alat produsi yang lengkap
c. Petani sedang( sederhana) yang mempunyai alat poduksi dan tanah sendiri.
d. Petani kaya yang mempunyai alat-alat produksi dan tanah sendiri disewakan kepada petani miskin dan yang mengeksploitasnya buruh tani.
E. Hubungan struktur social dengan lembaga desa
Dalam kenyataan memang dua gambaran ekstrim ini mungkin tidak pernah terwujud karena beberapa cirri selalu terdapat bertumpuan ke dalam bentuk yakni:




Lembaga
-orentasi pada kebutuhan
-peranan yang dimainkan
-upacara
-pengawasan social
-pengakuan karena melembaga
-terlibatnya pendukung
-tradisi turun temurun
-empire
-berpegang pada norma
-prioritas usia dan gengsi
-sifat memenuhi kebutuhan tertentuu Organisasi
-orentasi pada tujuan
-tugas yang dilaksanakan
-prosedur
-pengawasan peraturan-
-Pengakuan karena didirikan resmi
-keangotaan
-kebiasaan karena rutin
-digagas dan diwujudkan
-kesetiaan dan ikatan pada tujuan
-prioritas kemampuan dan kkemampuan
-alat mencapai tujuan tertentu

Selajutnya dikemukakan beberapa contoh lembaga yang melakukan pengendalian social
1. Lembaga keluarga
Lembaga keluarga merupakan tempat pertama untuk anak menerima pendidikan dan pembinaan. Meskipun diakui bahwa sekolah mengkhususkan diri untuk kegiatan pendidikan, namun sekolah tidak mulai dari “ruang hampa”(Hery Noer Aly, 2000). Sekolah menerima anak setelah melalui berbagai pengalaman dan sikap serta memperoleh banyak pola tingkah laku dan keterampilan yang diperolehnya dari lembaga keluarga.
Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan di segala bidang, manfaatnya semakin hari semakin dirasakan oleh semua kalangan. Revolusi informasi menyebabkan dunia terasa semakin kecil, semakin mengglobal dan sebaliknya privacy seakan tidak ada lagi. Berkat revolusi informasi itu, kini orang telah terbiasa berbicara tentang globalisasi dunia dengan modernitas sebagai ciri utamanya. Dengan teknologi informasi yang semakin canggih, hampir semua yang terjadi di pelosok dunia segera diketahui dan ketergantungan (interdependensi) antar bangsa semakin besar (Nurcholish Madjid, 2000).
Perkembangan tersebut – termasuk didalamnya perkembangan ilmu pengetahuan – di samping mendatangkan kebahagiaan, juga menimbulkan masalah etis dan kebijakan baru bagi umat manusia. Efek samping itu ternyata berdampak sosiologis, psikologis dan bahkan teologis. Lebih dari itu, perubahan yang terjadi juga mempengaruhi nilai-nilai yang selama ini dianut oleh manusia, sehingga terjadilah krisis nilai. Nilai-nilai kemasyarakatan yang selama ini dianggap dapat dijadikan sarana penentu dalam berbagai aktivitas, menjadi kehilangan fungsinya (Syahrin Harahap, 1999).
Untuk menyikapi fenomena global seperti itu, maka penanaman nilai-nilai keagamaan ke dalam jiwa anak secara dini sangat dibutuhkan. Dalam hubungan itu, keluarga pada masa pembangunan (dalam konteks keindonesiaan dikenal dengan era tinggal landas) tetap diharapkan sebagai lembaga sosial yang paling dasar untuk mewujudkan pembangunan kualitas manusia dan lembaga ketahanan untuk mewujudkan manusia-manusia yang ber-akhlakul karimah (Melli Sri Sulastri, 1993). Pranata keluarga merupakan titik awal keberangkatan sekaligus sebagai modal awal perjalanan hidup mereka (Abin Syamsuddin, 1993).
Namun fakta di lapangan menunjukan bahwa keluarga tidak lagi berfungsi sebagaimana seharusnya. Tuntutan pekerjaan ( ekonomi ) orangtua telah menghabiskan waktu interaksi dan komunikasi dengan anggota keluarga lainnya. Bagi kalangan menengah ke atas, bapak yang bekerja di kantor harus pergi lebih pagi untuk menghindari macet dan pulang sudah larut karena target pekerjaan harus dituntaskan, sedangkan ibu sebagai wanita karir memiliki kesibukan yang tak jauh beda dengan sang bapak sehingga anak dititipkan kepada pembantu di rumah atau babysitter. Jelas saja pembantu atau babysitter tidak bisa sepenuhnya menggantikan posisi dan fungsi orangtua sesungguhnya. Hal serupa dialami oleh keluarga yang memiliki latar belakang ekonomi lemah. Orangtua umumnya harus peras keringat banting tulang untuk dapat memenuhi kebutuhan sehari- hari sehingga anak sering terlantar tidak terurus. Kondisi- kondisi tersebut menyebabkan tersumbatnya kominikasi, interaksi dan afeksi dalam keluarga yang kemudian mengakibatkan anak mencari tempat yang ia anggap nyaman atau dapat memenuhi tuntutan fsikologisnya.

Pada saat yang sama media informasi, dengan segala dampak buruknya terbuka lebar dan lingkungan yang permisif di depan mata dan siap untuk “dinikmati” sang anak sebagai konpensasi keringnya nilai- nilai afeksi dalam keluarga. Alhasil, terjadi individualistik dalam keluarga sebagai dampak dari disfungsi lembaga keluarga. Keadaan ini sudah barang tentu menjadi jaminan pendidikan keagamaan dalam keluarga tidak akan berjalan.
2. Lembaga perekonomian
Didalam masyarakat pedesaan,banyak sekali kita jumpai lembaga – lembaga perekonomian yang dibangun untuk mengendalikan perekonomian didesa,salah satu bentuk lembaga ekonomi yang ada di desa adalah KUD.dalam masyarakat desa yang masih amat tradisional KUD merupakan suatu lembaga perekonomian yang sangat penting dalam suatu desa.karena KUD banyak memiliki fungsi bagi masyarakat desa,misalnya KUD bias memberikan pinjaman modal usaha kepada masyarakat,dan KUD banyak menyediakan produk-produk dan alat-alat pertanian bagi masyarakat.oleh karena itu hadirnya KUD dalam masyarakat desa sangatlah mempengaruhi kemajuan ekonmomi masyarakat desa,sehingga hinga saat ini,lembaga ini masih dipertahankan oleh masyarakat.
3. Lembaga keagamaan
Agama memiliki peran penting dalam kehidupan umat manusia. Ia memberikan landasan normatif dan kerangka nilai bagi kelangsungan hidup umatnya. Ia memberikan arah dan orientasi duniawi di samping orientasi ukhrowi (eskatologis). Dalam konteks ini, secara sosiologis agama merupakan sistem makna sekaligus sistem nilai bagi pemeluknya. Tetapi di era modern ini peran agama tergeser oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agama tidak lagi memiliki peran dominan dalam domain sosial kemasyarakatan. Justru Ia ditempatkan ke dalam wilayah privat, sementara wilayah publik diserahkan kepada manusia itu sendiri. Hal ini terja.di -menurut beberapa pengamat- karena proses sekularisasi. Di Indonesia gejala ini mulai tampak, terutama di kalangan kelas menengah. Persoalan ini secara deskriptif dikupas dalam penelitian ini.
Dengan pendekatan kualitatif, penelitian ini berusaha menelusuri perubahan persepsi masyarakat muslim kelas menengah di Jakarta -akibat sekulansasi- terhadap peran agama serta faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut. Kelas menengah dalam penelitian ini meliputi kalangan ilmuan (dosen/peneliti), jumalis, pengusaha, dan pakar sosial keagamaan.
Dan hasil penelitian terungkap bahwa telah terjadi perubahan persepsi masyarakat muslim kelas menengah terhadap peran agama. Mereka memandang peran agama terutama yang dimainkan tokoh agama semisal kyai dan ustadz- mengalami penurunan relatif menonjol. Hal ini terlihat dalam kemampuan mereka mempengaruhi masyarakat. Di samping itu, otoritas, penghargaan sosial, dan kredibilitas mereka juga dipertanyakan. Temuan lainnya yang menarik adalah bahwa mereka menganggap organisasi-organisasi keagamaan -baik formal maupun informal- semisal Depag, MUI, NU, dan Muhammadiyah tidak signifikan lagi karena dipandang cenderung membawa suara pemerintah. Justru sebaliknya, mereka menaruh mmat terhadap kelompok-kelompok pengajian semisal Paramadina karena memberikan ruang untuk memahami agama secara ilmiah.
Meskipun demikian, dalam praktek ekonomi penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat kelas menengah muslim belum melaksanakan norma-norma agama sepenuhnya. Karena mereka belum memahami prinsip-prinsip ekonomi Islam. Maka akibatnya masih terlihat perilaku menyimpang semisal KKN, ketidakjujuran, sikap manipulatif, dan lain-lain. Ini dipengaruhi oleh: Pertama kekurang-pahaman mereka terhadap ajaran Islam di samping faktor kepribadian yang diwarnai oleh pikiran, sikap, dan tindakan yang "westernized". Kedua, kadar pro fesionalitas tokoh agama yang relatif kurang mampu memenuhi kebutuhan keagamaan masyarakat kelas menengah.

4. Lembaga desa dalam orientasi pembangunan
Lembaga dapat diartikan sebagai bentuk suatu kerja sama dalam mencapai suatu tujuan.apabila pengertian lembaga dihubingkan dengan masalah politik,maka dapat diartikan sebagai suatu kegiatan poltik yang menghasilkan keputusan-keputusan politik.contoh dari lembaga yang termasuk dalam lembaga yang orientasinya membbangun desa diantaranya: Lembaga Musyawarah Desa,lembaga Subag,BIMAS,BUUD,BRI,organisasi tani dan lembaga Masnait di kaitetu.sedangkan pengertian melembaga menujukan bahwa suatu proses terjadinya norma-norma dan aturan yang memuat pola-pola pemikiran dan tingkah laku tersebut.
5. Tujuan dari lembaga
Suatu lembaga dibentuk dalam masyarakat pasti memeliki tujuan atau cita-cita yang ingin dicapai,berikut beberapa tujuan yang menjadi hakekat dibentuknya suatu lembaga:
• Melaksanakan pembangunan,embanguan social budaya maupun pembangunan ekonomi bagi masyarakat.
• mengorganisir masyarakat agar dapat menerima dan merencanakan ,melaksanakan dan mengelola program dari pemerintah maupun dari masyarakat desa itu sendiri ,sehingga dapat tercipta sasaranya yang disertai partisipasi masyarakat.
Lembaga dalam masyarakat umumnya dibagi menjadi dua jenis lembaga,yakni:
a. lembaga formil
• lembaga social desa
• lembaga pertahanan sipil
• lembaga pembantu penyelengaraan pendidikan
• kesejahteraan keluarga
• lembaga dana sehat
• embaga pendidikan
• lembaga ekonomi
b. lembaga informal
• lembaga keluarga
• lembaga keagamaan
• lembaga olah raga
• lembaga kesenian
• lembaga kepemudaan/karang taruna

































V.KEPEMIMPINAN DALAM MASYARAKAT DESA

A. Konsep pemimpin pedesaan
Secara umum da beberapa bentuk kepemimpinan ,yaitu : pemimpin formal,pemimpin formal tradisional,dan pemimpin informal.
• Pemimpin formal yang di maksud dari hal diatas adalah para petuga yang ditempatkan ditingat desa.
• Pemimpin formal tradisional yang dimaksudkan adalah pemimpin yang diangkat resmi untuk menjalankan tugas pemerintahan desayang didasarkan pada ikatan territorial.
• Pemimpin informal adlah seseorang atau sekelompok orang yang mempunyai pengaruh kuat dan mampu mengerakkan anggota masyarakat desa.
Berdasarkan konsep kepemimpinan menurut max weber umumnya dikenal 3 konsep pokok yaitu:
• Pemimpinan charismatic
Pemimpin yang memiliki kekuatan charisma tinggi yang membuat orang kagum kepadanya.pemimpin ini diakui oleh yang dipimpinnya selama ia masih memiliki karisma.
• Pimpinan tradisional
Pemimpin yang demikian ini ,didasarkan pada pengakuan akan tradisi,yaitu yang berdasarkan pada keturunan,atau dengan system pewarisan kekuasaan.
• Pemimpinan rasionnal
Pemimpin ini didasarkan pada pendidikan formal atau dengan kata lain memiliki jenjang pendidikan formal.dimana yang dipakai sebagai ukran dalam jabatan adalah ijazah yang dimiliki.
B. Kepemimpinan desa dalam orientasi pembangunan
Program pembanguanan atas desa dimaksudkan sebagai program pembangunan pemerintah melalui saluran vertical berjenjang dalam berbagai bidang.ditingkat desa hal tersebut disalurkan melalui pemimpin formal// kepala desa yang dibantuoleh petugas pelayanan dinas vertical untuk tiap desa yang dibantu kader-kader pembangunan desa.program pembangunan desa tersebut dapat dilaksanakan secara sektoral atauapun antar sektoral berupa integrasi berbagai dinas.peran pemimpin desa yang dipisahkan dari pemipin formal dan pemimpin informal dapat dilihat dari segi:
• Pengelolaan yang meliputi fungsi perencanaan,pengorganisasian,koordinasi pelaksanaan,pembiayaan,dan pengawasan.
• Partisipasi pemimpin dalam bentuk persepsi dukungan atau bentuk motiasi terhadap program pembangunan desa.
Wujud partisipasi akan lebih sempurna apabila antara pemimpin formal dengan pemimpin informal terjadi interaksi yang baik melalui forum-forum musyawarah desa ttaupun rapat mingguan .ciri pemimpin pada umumnya adalah karena adanya suatu kekuasaan dan wewenang yang ada pada dirinya.yaitu kemampuan untuk mempengaruhi pihak lain menurut kehendak yang ada pada pemegang kekuasaan.

C. Partisipasi masyarakat
Dalam pelaksanaan pembangunan suatu daerah,pertisi masyarakat sangat lah berpengaruh dalam mencapai sasaran pembanguanan.ppertisipasi desa dalam pembanguan dapat diartikan sebagai tindakan keikut sertaan masyarakat dalm kegiatan pembanguan .dikenal ada dua tipe partisipasi masyarakat yaitu:
• Partisipasi masyarakat sebagai aktifitas bersama dalm setiap proyek khusus seperti pembanguan dibidang prasarana fisik desa.
• Partisipasi masyarakat sebagai individu diluar aktifitas bersama tersebbut seperti keluarga berncana,bimas,dsb.
Dengan demikian partisipasi masyarakat sangatlah menentukan suatu program dapat berjalan atau tidak,karena masyarakat juga mengambil peran penting dalam setiapa program yang akan dicanangkan oleh pemerintah ataupun pihak swasta.

































VI.PROSES PEMBANGUNAN MASYARAKAT PEDESAAN

Dalam usaha mencapai usaha pembangunan masyarakat ada beberapa prosesyang biasanya dilakukan ,yaitu:
• Peruasan perubahan social
Daerah pedesaan yang makin terintegrasi kedalam masyarakat yang lebih besar,dalm beberapa hal terkena pengaruuh dari : ikatan politik Negara,penyatuan dalm birokrasi pemerintahan,masuknya pasar internasional,perbaikan sarana dan prasarana komunikasi,dll
• Diferensiasi social
Banyak organisasi baru yang timbul dan melakukan fungsi organisasi lama atau fungsi-fungsiyang sama sekali baru dan berkaitan dengan msyarakat luas.organisasi dan masyarakat tradisional misalnya ikatan kekerabatan dapat kehilangan beragam fungsi-fungsi ekonomi,politik,hokum ,kebudayaan,dll fungsi itu lambat laun digantikan oleh sitem spesialisasi seperti,pasar,lembaga kredit,pusat kesehatan ,ebaga dawah,dan lembaga-lembaga besar lainya.
• Pelapisan social
Baik perluasan relasi social maupun pembentukan badan spesialisasi atau organisasi baru ,umumnya bertalian dengan pembentukan suatu pola herarki baru sebagai alat penguasaan social.pengalokasian dan koordinasi sejumplah fungsi spesialisasi yang banyak ragamnya maupun usaha memecahkan masalah dan pertikaian kebanyakan terjadi di dalam pola herarki vertical,hal ini umumnya terjadi dalam pola herarki vertical,hal ini umumnya banyak terjadi pada banyak ragam organisasi pemerintah dan swasta pada berbagai tingkatan dan dalm banyak bidang kehidupan.

A. Urbanisasi
Sebagai akibat dari Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi adalah masalah yang cukup serius bagi kita semua. Persebaran penduduk yang tidak merata antara desa dengan kota akan menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan. Jumlah peningkatan penduduk kota yang signifikan tanpa didukung dan diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan, fasilitas umum, aparat penegak hukum, perumahan, penyediaan pangan, dan lain sebagainya tentu adalah suatu masalah yang harus segera dicarikan jalan keluarnya.
Berbeda dengan perspektif ilmu kependudukan, definisi Urbanisasi berarti persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Perpindahan manusia dari desa ke kota hanya salah satu penyebab urbanisasi. perpindahan itu sendiri dikategorikan 2 macam, yakni: Migrasi Penduduk dan Mobilitas Penduduk, Bedanya Migrasi penduduk lebih bermakna perpindahan penduduk dari desa ke kota yang bertujuan untuk tinggal menetap di kota. Sedangkan Mobilitas Penduduk berarti perpindahan penduduk yang hanya bersifat sementara atau tidak menetap.
Untuk mendapatkan suatu niat untuk hijrah atau pergi ke kota dari desa, seseorang biasanya harus mendapatkan pengaruh yang kuat dalam bentuk ajakan, informasi media massa, impian pribadi, terdesak kebutuhan ekonomi, dan lain sebagainya.
Pengaruh-pengaruh tersebut bisa dalam bentuk sesuatu yang mendorong, memaksa atau faktor pendorong seseorang untuk urbanisasi, maupun dalam bentuk yang menarik perhatian atau faktor penarik. Di bawah ini adalah beberapa atau sebagian contoh yang pada dasarnya dapat menggerakkan seseorang untuk melakukan urbanisasi perpindahan dari pedesaaan ke perkotaan.
a. Faktor Penarik Terjadinya Urbanisasi
1. Kehidupan kota yang lebih modern dan mewah
2. Sarana dan prasarana kota yang lebih lengkap
3. Banyak lapangan pekerjaan di kota
4. Di kota banyak perempuan cantik dan laki-laki ganteng
5. Pengaruh buruk sinetron Indonesia
6. Pendidikan sekolah dan perguruan tinggi jauh lebih baik dan berkualitas
b. Faktor Pendorong Terjadinya Urbanisasi
1. Lahan pertanian yang semakin sempit
2. Merasa tidak cocok dengan budaya tempat asalnya
3. Menganggur karena tidak banyak lapangan pekerjaan di desa
4. Terbatasnya sarana dan prasarana di desa
5. Diusir dari desa asal
6. Memiliki impian kuat menjadi orang kaya
c. Keuntungan Urbanisasi
1. Memoderenisasikan warga desa
2. Menambah pengetahuan warga kota
3. Menjalin kerja sama yang baik antar warga suatu daerah
4. Menyeimbangkan masyarakat kota dengan masyarakat desa
B. Ruralisasi
Ruralisasi adalah kebalikan dari urbanisasi, yaitu perpindahan penduduk dari kota ke desa. Ruralisasi pada umumnya banyak dilakukan oleh mereka yang dulu pernah melakukan urbanisasi, namun banyak juga pelaku ruralisasi yang merupakan orang kota asli. Faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya ruralisasi dibedakan menjadi faktor pendorong dan faktor penarik berikut ini.
Faktor pendorong:
1) kejenuhan tinggal di kota;
2) harga lahan di kota semakin mahal sehingga tidak terjangkau;
3) keinginan untuk memajukan desa atau daerah asalnya; serta
4) merasa tidak mampu lagi mengikuti dinamika kehidupan di kota.

Faktor penarik:
1) harga lahan di pedesaan relatif masih murah;
2) pola kehidupan masyarakatnya lebih sederhana;
3) suasana lebih tenang, sehingga cocok untuk penduduk usia tua dalam menjalani masa pensiun
4) adanya perasaan keterkaitan dengan daerah asal atau kenangan masa kecil.

Jumat, 15 April 2011

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Pemberdayaan
Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah strategi, sekarang telah banyak
diterima, bahkan telah berkembang dalam berbagai literatur di dunia barat.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pembangunan Sosial di Kopenhagen Tahun
1992 juga telah memuatnya dalam berbagai kesepakatannya. Namun, upaya
mewujudkannya dalam praktik pembangunan tidak selalu berjalan mulus.
Banyak pemikir dan praktisi yang belum memahami dan mungkin tidak meyakini bahwa
konsep pemberdayaan merupakan alternatif pemecahan terhadap dilema-dilema
pembangunan yang dihadapi. Mereka yang berpegang pada teori-teori pembangunan
model lama juga tidak mudah untuk menyesuaikan diri dengan pandangan-pandangan
dan tuntutan-tuntutan keadilan. Mereka yang tidak nyaman terhadap konsep partisipasi
dan demokrasi dalam pembangunan tidak akan merasa tentram dengan konsep
pemberdayaan ini. Lebih lanjut, disadari pula adanya berbagai bias terhadap
pemberdayaan masyarakat sebagai suatu paradigma baru pembangunan.
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang
merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan,
yakni yang bersifat “people-centered, participatory, empowering, and sustainable”
(Chambers, 1995 dalam Kartasasmita, 1996).
Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs)
atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety
net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari
alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan dimasa yang lalu. Konsep ini
berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara lain oleh
Friedmann (1992) disebut alternative development, yang menghendaki “inclusive
democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenerational equity”.
Konsep pemberdayaan tidak mempertentangkan pertumbuhan dengan pemerataan, karena
seperti dikatakan oleh Donald Brown (1995), keduanya tidak harus diasumsikan sebagai
“incompatible or antithetical”. Konsep ini mencoba melepaskan diri dari perangkap
“zero-sum game” dan “trade off”. Ia bertitik tolak dari pandangan bahwa dengan
pemerataan tercipta landasan yang lebih luas untuk pertumbuhan dan yang akan
menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, seperti dikatakan oleh
Kirdar dan Silk (1995), “the pattern of growth is just as important as the rate of growth”.
Yang dicari adalah seperti dikatakan Ranis, “the right kind of growth”, yakni bukan yang
vertikal menghasilkan “trickle-down”, seperti yang terbukti tidak berhasil, tetapi yang
bersifat horizontal (horizontal flows), yakni “broadly based, employment intensive, and
not compartmentalized” (Ranis, 1995).
Hasil pengkajian berbagai proyek yang dilakukan oleh International Fund for Agriculture
Development (IFAD) menunjukkan bahwa dukungan bagi produksi yang dihasilkan
masyarakat di lapisan bawah telah memberikan sumbangan pada pertumbuhan yang lebih
besar dibandingkan dengan investasi yang sama pada sektor-sektor yang skalanya lebih
besar. Pertumbuhan itu dihasilkan bukan hanya dengan biaya lebih kecil, tetapi dengan
devisa yang lebih kecil pula (Brown, 1995). Hal terakhir ini besar artinya bagi negaranegara
berkembang yang mengalami kelangkaan devisa dan lemah posisi neraca
pembayarannya.
Lahirnya konsep pemberdayaan sebagai antitesa terhadap model
pembangunan yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun
dari kerangka logik sebagai berikut : (1) bahwa proses pemusatan kekuasaan
terbangun dari pemusatan kekuasaan faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan
faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha
pinggiran; (3) kekuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem
pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan sistem ideologi yang manipulatif
untuk memperkuat legitimasi; dan (4) pelaksanaan sistem pengetahuan, sistem
politik, sistem hukum dan ideologi secara sistematik akan menciptakan dua
kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya
(Prijono dan Pranarka, 1996). Akhirnya yang terjadi ialah dikotomi, yaitu
masyarakat yang berkuasa dan manusia yang dikuasai. Untuk membebaskan
situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan pembebasan melalui proses
pemberdayaan bagi yang lemah (empowerment of the powerless).
Alur pikir di atas sejalan dengan terminologi pemberdayaan itu sendiri atau yang dikenal
dengan istilah empowerment yang berawal dari kata daya (power). Daya dalam arti
kekuatan yang berasal dari dalam tetapi dapat diperkuat dengan unsur–unsur penguatan
yang diserap dari luar. Ia merupakan sebuah konsep untuk memotong lingkaran setan
yang menghubungkan power dengan pembagian kesejahteraan. Keterbelakangan dan
kemiskinan yang muncul dalam proses pembangunan disebabkan oleh
ketidakseimbangan dalam pemilikan atau akses pada sumber–sumber power. Proses
historis yang panjang menyebabkan terjadinya power dis powerment, yakni peniadaan
power pada sebagian besar masyarakat, akibatnya masyarakat tidak memiliki akses yang
memadai terhadap akses produktif yang umumnya dikuasai oleh mereka yang memiliki
power. Pada gilirannya keterbelakangan secara ekonomi menyebabkan mereka makin
jauh dari kekuasaan. Begitulah lingkaran setan itu berputar terus. Oleh karena itu,
pemberdayaan bertujuan dua arah. Pertama, melepaskan belenggu kemiskinan, dan
keterbelakangan. Kedua, memperkuat posisi lapisan masyrakat dalam struktur ekonomi
dan kekuasaan.
Secara konseptual, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat
dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk
melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain
memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat.
Dalam konsep pemberdayaan, menurut Prijono dan Pranarka (1996),
manusia adalah subyek dari dirinya sendiri. Proses pemberdayaan yang
menekankan pada proses memberikan kemampuan kepada masyarakat agar
menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai
kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Lebih lanjut
dikatakan bahwa pemberdayaan harus ditujukan pada kelompok atau lapisan
masyarakat yang tertinggal.
Menurut Sumodiningrat (1999), bahwa pemberdayaan masyarakat
merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi
kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa
menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak
yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang
memberdayakan.
Mubyarto (1998) menekankan bahwa terkait erat dengan pemberdayaan
ekonomi rakyat. Dalam proses pemberdayaan masyarakat diarahkan pada
pengembangan sumberdaya manusia (di pedesaan), penciptaan peluang berusaha
yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Masyarakat menentukan jenis usaha,
kondisi wilayah yang pada gilirannya dapat menciptakan lembaga dan sistem
pelayanan dari, oleh dan untuk masyarakat setempat. Upaya pemberdayaan
masyarakat ini kemudian pada pemberdayaan ekonomi rakyat.
Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang
bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang
bersangkutan. Suatu masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan
mental, terdidik dan kuat, tentunya memiliki keberdayaan yang tinggi.
Keberdayaan masyarakat merupakan unsur dasar yang memungkinkan suatu masyarakat
bertahan, dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri dan mencapai
kemajuan. Keberdayaan masyarakat itu sendiri menjadi sumber dari apa yang di dalam
wawasan politik disebut sebagai ketahanan nasional. Artinya bahwa apabila masyarakat
memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi, maka hal tersebut merupakan bagian dari
ketahanan ekonomi nasional.
Dalam kerangka pikir inilah upaya memberdayakan masyarakat pertama-tama haruslah
dimulai dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
berkembang. Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap
masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, bahwa tidak ada
masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena kalau demikian akan punah.
Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu sendiri, dengan mendorong,
memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya
untuk mengembangkannya.
Selanjutnya, upaya tersebut diikuti dengan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki
oleh masyarakat itu sendiri. Dalam konteks ini diperlukan langkah-langkah lebih positif,
selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana yang kondusif. Perkuatan ini meliputi
langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta
pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat
masyarakat menjadi makin berdaya (Kartasasmita, 1996).
Dengan demikian, pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota
masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern
seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, kebertanggungjawaban dan lain-lain yang
merupakan bagian pokok dari upaya pemberdayaan itu sendiri.
Pemberdayaan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pemberdayaan sektor
informal, khususnya kelompok pedagang kaki lima sebagai bagian dari masyarakat yang
membutuhkan penanganan/pengelolaan tersendiri dari pihak pemerintah yang berkaitan
dengan upaya peningkatan kualitas sumberdaya yang mereka miliki yang pada gilirannya
akan mendorong peningkatan pendapatan/profit usaha sehingga mampu memberikan
kontribusi terhadap penerimaan pendapatan daerah dari sektor retribusi daerah.
B. Pedagang Kaki Lima Sebagai Bagian Dari Usaha
Kecil
Di Sektor Informal
Di dalam UU. Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dijelaskan bahwa
yang dimaksudkan dengan usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang
berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan
serta kepemilikan.
Adapun usaha kecil tersebut meliputi : usaha kecil formal, usaha kecil
informal dan usaha kecil tradisional. Usaha kecil formal adalah usaha yang telah
terdaftar, tercatat dan telah berbadan hukum, sementara usaha kecil informal
adalah usaha yang belum terdaftar, belum tercatat dan belum berbadan hukum,
antara lain petani penggarap, industri rumah tangga, pedagang asongan, pedagang
keliling, pedagang kaki lima dan pemulung. Sedangkan usaha kecil tradisional
adalah usaha yang menggunakan alat produksi sederhana yang telah digunakan
secara turun temurun dan/atau berkaitan dengan seni dan budaya.
Dalam UU. Nomor 9 Tahun 1995 juga ditetapkan beberapa Kriteria Usaha
Kecil, antara lain (1) memiliki kekayaan bersih paling banyak 200 juta rupiah,
tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau (2) memiliki hasil
penjualan tahunan paling banyak 1 (satu) milyar rupiah; (3) milik warga negara
Indonesia; (4) berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang
perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi, baik langsung maupun tidak
langsung dengan usaha menengah atau usaha besar; (5) berbentuk usaha orang
perseorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang
berbadan hukum, termasuk koperasi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Usaha Kaki Lima adalah
bagian dari Kelompok Usaha Kecil yang bergerak di sektor informal, yang oleh
istilah dalam UU. No. 9 Tahun 1995 di atas dikenal dengan istilah “Pedagang
Kaki Lima”.
Konsepsi sektor informal mendapat sambutan yang sangat luas secara
internasional dari para pakar ekonomi pembangunan, sehingga mendorong
dikembangknnya penelitian pada beberapa negara berkembang termasuk
Indonesia oleh berbagai lembaga penelitian pemerintah, swasta, swadaya
masyarakat dan universitas. Hal tersebut terjadi akibat adanya pergeseran arah
pembangunan ekonomi yang tidak hanya memfokuskan pada pertumbuhan
ekonomi makro semata, akan tetapi lebih kearah pemerataan pendapat. Swasono
(1987) mengatakan bahwa adanya sektor informal bukan sekedar karena
kurangnya lapangan pekerjaan, apalagi menampung lapangan kerja yang terbuang
dari sektor informal akan tetapi sektor informal adalah sebagai pilar bagi
keseluruhan ekonomi sektor formal yang terbukti idak efisien. Hal ini dapat
menunjukan bahwa sektor informal telah banyak mensubsidi sektor formal,
disamping sektor informal merupakan sektor yang efisien karena mampu
menyediakan kehidupan murah.
Konsepsi ekonomi sektor informal baru muncul dan terus dikembangkan
sejak tahun 1969 pada saat International Labor Organization (ILO)
mengembangkan program World Employmen Programme (WEP). Progaram
bertujuan untuk mencari strategi pembangunan ekonomi yang tepat, yang mampu
mengatasi masalah ketenagakerjaan didunia ketiga (negara berkembang), sebagai
akibat adanya suatu kenyataan bahwa meskipun membangun ekonomi telah
dipacu namun tingkat pengangguran dinegara berkembang tetap tinggi. Melalui
program tersebut telah dilakukan penelitian tentang ketenagakerjaan di Colombia,
Sri Langka dan Kenya (Moser 1978, dalam Chandrakirana dan Sadoko, 1995).
Pada tahun 1972, International Labor Organization (ILO) menerbitkan
laporan hasil penelitian ketenagakerjaan di Kenya, yang antara lain menympulkan
bahwa inti permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan ekonomi di Kenya
bukanlah pengangguran semata, melainkan juga akibat banyaknya pekerjaan yang
tidak menghasilkan pendapatan yang memadai (dibawah garis kemiskinan), serta
rendahnya tingkat produktivitas dan menfaatan (under utilization) tenaga kerja.
Dalam kondisi yang demikian Interntional Labor Organization (ILO) menemukan
adanya kegiatan ekonomi yang selama ini lolos dari pencacahan, pengaturan dan
perlindungan pemerintah, tetapi yang mempunyai makna ekonomi dengan
karakteristik kompetitif, padat karya, mamakai input dan teknologi lokal, serta
beroprasi atas dasar pemilikan sendiri oleh masyarakat lokal. Kegiatan-kegiatan
seperti inilah yang kemudian dinobatkan sebagai sektor informal. Disimpulkan
pula bahwa untuk memecahkan masalah ketenagakerjaan di Kenya,
pengembangan kegiatan-kegiatan informal tidak boleh diabaikan (Mosher, 1978
dalam Chandrakirana dan Sadoko, 1995).
Sektor informal itu sendiri, pertama kali diperkenalkan Keith Hart seorang
peneliti dari Universitas Manchester di Inggris (Harmono, 1983) yang kemudian
muncul dalam penerbitan ILO (1972) sebagaimana disebutkan di atas. Lebih lanjut
ILO dalam Sudarsono (1982) memberikan definisi tentang sektor informal sebagai
sektor yang mudah dimasuki oleh pengusaha pendatang baru, menggunakan
sumber-sumber ekonomi dalam negeri, dimiliki oleh keluarga berskala kecil,
menggunakan teknologi padat karya dan teknologi yang disesuaikan dengan
keterampilan yang dibutuhkan, tidak diatur oleh pemerintah dan bergerak dalam
pasar penuh persaingan.
Dieter-Evers dikutip Rachbini dan Hamid (1994) menganalogikan sektor
informal sebagai sebuah bentuk ekonomi bayangan dalam negara. Ekonomi
bayangan digambarkan sebagai kegiatan ekonomi yang tidak mengikuti aturanaturan
yang dikeluarkan oleh pemerintah. Kegiatan ekonomi bayangan merupakan
bentuk kegiatan ekonomi yang bergerak dalam unit-unit kecil sehingga bisa
dipandang efisien dalam memberikan pelayanan. Dilihat dari sisi sifat
produksinya, kegiatan ini bersifat subsistem yang bernilai ekonomis dalam
pemenuhan kebutuhan sehari-hari khususnya bagi masyarakat yang ada
dilingkungan sektor informal.
Hutajulu (1985) memberikan batasan tentang sektor informal, adalah suatu
bidang kegiatan ekonomi yang untuk memasukinya tidak selalu memerlukan
pendidikan formal dan keterampilan yang tinggi, dan memerlukan surat-surat izin
serta modal yang besar untuk memproduksi barang dan jasa.
Selanjutnya Sethurahman (1985) memberi batasan sektor informal ini
sebagai unit-unit usaha berskala kecil yang terlibat dalam proses produksi dan
distribusi barang-barang, dimasuki oleh penduduk kota terutama bertujuan untuk
mencari kesempatan kerja dan pendapatan dari pada memperoleh keuntungan.
Sedangkan menurut Moser, 1978 dalam Chandrakirana dan Sadoko (1995) bahwa
sektor informal merupakan kegiatan ekonomi yang selama ini lolos dari
pencacahan, pengaturan dan perlindungan pemerintah, tetapi mempunyai makna
ekonomi dengan karakteristik kompetitif, padat karya, memakai input dan
teknologi lokal, serta beroperasi atas dasar pemilikan sendiri oleh masyarakat
lokal, serta beroperasi atas dasar pemilikan sendiri oleh masyarakat.
Menurut Rachbini dan Hamid (1994), sektor informal berfungsi sebagai penyedia barang
dan jasa terutama bagi masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah yang tinggal
dikota-kota. Pelaku sektor ini pada umumnya berasal dari desa-desa dengan tingkat
pendidikan dan keterampilan rendah serta sumber-sumber terbatas.
Pada dasarnya suatu kegiatan sektor informal harus memiliki suatu lokasi yang
tepat agar dapat memperoleh keuntungan (profit) yang lebih banyak dari tempat lain dan
untuk mencapai keuntungan yang maksimal, suatu kegiatan harus seefisien mungkin.
Richardson (1991) berpendapat bahwa keputusan-keputusan penentuan lokasi yang
memaksimumkan penerimaan biasanya diambil bila memenuhi kriteria-kriteria pokok :
1. Tempat yang memberi kemungkinan pertumbuhan jangka panjang yang
menghasilkan keuntungan yang layak.
2. Tempat yang luas lingkupnya untuk kemungkinan perluasan unit produksi.
Jadi jelasnya bahwa pengertian sektor informal mempunyai ruang lingkup
yang sangat luas, artinya bahwa kegiatan yang paling besar dijalankan oleh
penduduk berpendapatan rendah.
Di Indonesia, sudah ada kesepakatan tentang 11 ciri pokok sektor informal
sebagai berikut :
1. Kegiatan usaha tidak terorganisasi dengan baik karena timbulnya unit usaha tidak
mempergunakan fasilitas atau kelembagaan yang tersedia di sektor formal.
2. Pada umumnya unit usaha tidak mempunyai ijin usaha.
3. Pola kegiatan usaha tidak teratur baik dalam arti lokasi maupun jam kerja.
4. Pada umumnya kebijaksanaan pemerintah untuk membantu golongan ekonomi tidak
sampai ke pedagang kaki lima.
5. Unit usaha mudah keluar masuk dari satu sub-sektor ke lain sub-sektor.
6. Teknologi yang digunakan bersifat primitif.
7. Modal dan perputaran usaha relatif kecil, sehingga skala operasi juga relatif kecil.
8. Pendidikan yang diperlukan untuk menjalankan usaha tidak memerlukan pendidikan
formal karena pendidikan yang diperoleh dari pengalaman sambil bekerja.
9. Pada umumnya unit usaha termasuk golongan one-man enterprise dan kalau
mengerjakan buruh berasal dari keluarga.
10. Sumber dana modal usaha yang umumnya berasal dari tabungan sendiri atau
lembaga keuangan yang tidak resmi.
11. Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi oleh golongan masyarakat desa-kota
berpenghasilan rendah dan kadang-kadang juga yang berpenghasilan menengah
(Hidayat, 1987).
Secara umum, pedagang dapat diartikan sebagai penyalur barang dan jasa-jasa perkotaan
(Rais dalam Umboh, 1990). Adapun menurut McGee yang dikutip Young (1977)
mendefinisikan pedagang kaki lima adalah “The People who offer goods or services for
sale from public places, primarily streetes and pavement”. Sedangkan Manning dan
Tadjudin Noer Effendi (1985) menyebutkan bahwa pedagang kaki lima adalah salah satu
pekerjaan yang paling nyata dan penting dikebanyakan kota di Afrika, Asia, Timur
Tengah dan Amerika Latin.
Menurut Breman (1988), pedagang kaki lima merupakan usaha kecil yang
dilakukan oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah (gaji harian) dan
mempunyai modal yang terbatas. Dalam bidang ekonomi, pedagang kecil ini
termasuk dalam sektor informal, di mana merupakan pekerjaan yang tidak tetap
dan tidak terampil serta golongan-golongan yang tidak terikat pada aturan hukum,
hidup serba susah dan semi kriminil pada batas-batas tertentu.
Dari pengertian/batasan tentang pedagang kaki lima sebagaimana
dikemukakan beberapa ahli di atas, dapat dipahami bahwa pedagang kaki lima
merupakan bagian dari kelompok usaha kecil yang bergerak di sektor informal.
Secara khusus, pedagang kaki lima dapat diartikan sebagai distribusi barang dan
jasa yang belum memiliki ijin usaha dan biasanya berpindah-pindah.
Menurut Sethurahman (1985) bahwa istilah pedagang kaki lima biasanya
untuk menunjukkan sejumlah kegiatan ekonomi yang berskala kecil, tetapi akan
menyesatkan bila disebut dengan “perusahaan” berskala kecil karena beberapa
alasan, antara lain :
1. Mereka yang terlibat dalam sektor ini pada umumnya miskin,
berpendidikan rendah (kebanyakan para migran). Jelaslah bahwa mereka bukanlah
kapitalis yang mencari investasi yang menguntungkan dan juga bukanlah pengusaha
seperti yang dikenal pada umumnya.
2. Cakrawala mereka nampaknya terbatas pada pengadaan
kesempatan kerja dan menghasilkan pendapatan yang langsung bagi dirinya sendiri.
3. Pedagang kaki lima di kota terutama harus dipandang sebagai unitunit
berskala kecil yang terlibat dalam produksi dan distribusi barang-barang yang
masih dalam suatu proses evaluasi daripada dianggap sebagai perusahaan yang
berskala kecil dengan masukan-masukan (input) modal dan pengolahan yang besar.
Selanjutnya menurut definisi International Labour Organization (ILO),
pedagang kaki lima didefinisikan sebagai sektor yang mudah dimasuki oleh
pendatang baru, menggunakan sumber-sumber ekonomi dalam negeri, dimiliki
oleh keluarga berskala kecil, menggunakan teknologi padat karya, keterampilan
yang dibutuhkan diperoleh di luar bangku sekolah, tidak dapat diatur oleh
pemerintah dan bergerak dalam pasar persaingan penuh (Hadji Ali, 1985).
Menurut Wirosardjono (1985) pengertian pedagang kaki lima adalah kegiatan sektor
marginal (kecil-kecilan) yang mempunyai ciri sebagai berikut :
1. Pola kegiatan tidak teratur baik dalam hal waktu, permodalan maupun
penerimaannya.
2. Tidak tersentuh oleh peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan oleh pemerintah (sehingga kegiatannya sering dikategorikan “liar”).
3. Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil dan
diusahakan dasar hitung harian.
4. Pendapatan mereka rendah dan tidak menentu.
5. Tidak mempunyai tempat yang tetap dan atau keterikatan dengan usaha-usaha
yang lain.
6. Umumnya dilakukan oleh dan melayani golongan masyarakat yang
berpenghasilan rendah.
7. Tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus sehingga secara luas
dapat menyerap bermacam-macam tingkatan tenaga kerja.
8. Umumnya tiap-tiap satuan usaha yang mempekerjakan tenaga yang sedikit dan
dari lingkungan keluarga, kenalan atau berasal dari daerah yang sama.
9. Tidak mengenal sistem perbankan, pembukuan, perkreditan dan sebagainya.
Sebagai saluran arus barang dan jasa, pedagang kaki lima merupakan mata
rantai akhir sebelum mencapai konsumen dari satu mata rantai yang panjang dari
sumber utamanya yaitu produsennya (Ramli, 1984).
Berdasarkan barang atau jasa yang diperdagangkan, menurut Karafi dalam
Umboh (1990), pedagang kaki lima dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1).
Pedagang minuman; 2). Pedagang makanan; 3). Pedagang buah-buahan; 4).
Pedagang sayur-sayuran; 5). Pedagang daging dan ikan; 6). Pedagang rokok dan
obat-obatan; 7). Pedagang buku, majalah dan surat kabar; 8). Pedagang tekstil dan
pakaian; 9). Pedagang kelontong; 10). Pedagang loak; 11). Pedagang onderdil
kendaraan, bensin dan minyak tanah; 12). Pedagang ayam, kambing, burung dan
13). Pedagang beras serta; 14). Penjual jasa.
C. Konsep Pendapatan/Keuntungan (provitability)
Secara etimologis pendapatan berasal dari kata "dapat" yang beroleh,
diperoleh, kena; misalnya : Upah sepuluh ribu rupiah. Kemudian mendapat
tambahan awalan 'pen' dan akhiran 'an' yang artinya hasil pencarian atau usaha,
perolehan; misalnya, sebulan tidak kurang dari lima puluh ribu rupiah,
(Poerwadarminta, 1984). Jadi, pendapatan adalah hasil pencaharian atau usaha
yang diperoleh seseorang dalam sehari atau sebulan.
Menurut Winardi dalam Kamus Ekonomi (1981), bahwa pendapatan atau
penghasilan itu sama artinya dengan hasil berupa uang atau material lainnya yang
dicapai dari penggunaan kekayaan atau jasa-jasa manusia bebas. Suparmoko (1981)
berpendapat bahwa pendapatan seseorang adalah pendapatan yang telah diperoleh
dari suatu kegiatan jenis usaha yang menghasilkan suatu keuntungan. Definisi lain
dari pendapatan adalah jumlah penghasilan yang diperoleh dari hasil pekerjaan dan
biasanya pendapatan seseorang dihitung setiap tahun atau setiap bulan. Dengan
demikian pendapatan merupakan gambaran terhadap posisi ekonomi keluarga dalam
masyarakat. Pendapatan keluarga berupa jumlah keseluruhan pendapatan dan
kekayaan keluarga, dipakai untuk membagi keluarga dalam tiga kelompok
pendapatan, yaitu : pendapatan rendah, pendapatan menengah dan pendapatan
tinggi.
Pembagian diatas berkaitan dengan, status, pendidikan dan keterampilan
serta jenis pekerja seseorang. Namun sifatnya sangat relatif. Pendapatan seseorang
pegawai negeri golongan IV dengan pendidikan sarjana akan kalah bila
dibandingkan dengan pendapatan seseorang pedagang yang sukses walaupun
hanya berpendidikan SLTP. Akan tetapi dari segi status dan sisi-sisi kehidupan
yang lain antara keduanya memiliki perbedaan dalam pandangan masyarakat,
karena taraf hidup bukan saja diukur dari segi material, akan tetapi dari segi moril
tidak kalah pentingnya. Sebagaimana pendapat diatas, bahwa pendapatan
merupakan gambaran terhadap posisi ekonomi keluarga dalam masyarakat, oleh
karenanya setiap orang yang bergelut dalam suatu jenis pekerjaan tertentu
termasuk pekerjaan disektor informal, berupaya untuk selalu meningkatkan
pendapatan dari hasil usahanya yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup
keluarganya dan sedapat mungkin pendapatan yang diperoleh dapat meningkatkan
taraf hidup keluarganya.
Kaitannya dengan analisa pendapatan/keuntungan (profitabilitas) suatu
perusahaan – termasuk -- usaha pedagang kaki lima, menurut Riyanto (1995)
bertujuan untuk mengukur kemampuan laba (profitability) suatu usaha/perusahaan
dalam memanfaatkan sumberdaya ekonominya, untuk sasaran tujuan tertentu.
Sumberdaya ekonominya tersebut pada umumnya dalam bentuk angka "total
assets" seperti tercantum dalam neraca (balance sheet) perusahaan yang sudah
diperiksa (audited).
Dalam menghitung pendapatan/keuntungan usaha digunakan beberapa
konsep, di antaranya adalah Return on Investment (ROI). ROI dapat diperoleh
dengan cara mengalikan antara perputaran (turn over) "total asset" dengan
keuntungan marginal penjualan. Analisis ROI diperoleh dengan menyelesaikan
rumus persamaan berikut ini.
atau
PENJUALAN
TOTAL ASSETS x
KEUNTUNGAN
PENJUALAN =
KEUNTUNGAN
TOTAL ASSETS
ROI =
KEUNTUNGAN NETTO SESUDAH PAJAK
JUMLAH AKTIVA
.........(Riyanto, 1995)
Selain menggunakan ROI untuk menghitung keuntungan, juga digunakan rasio
Net Profit Margin (sales margin) disingkat NPM untuk menghitung keuntungan netto
per rupiah penjualan dengan menggunakan rumus :
.......(Riyanto, 1995)
Dari rumus tersebut dapat diperoleh keterangan bahwa apabila perputaran turn over
dikalikan dengan marjin keuntungan (profit margin), maka hasilnya adalah keuntungan
dibandingkan dengan total asset atau disebut dengan laju return on investment.
Beberapa perusahaan menghitung total assets berdasarkan nilai bersih (net) seperti
tercantum dalam neraca perusahaan yang sudah diaudit. Perusahaan yang lain dalam
menghitung total assets dengan menambah elemen depresiasi guna memperoleh suatu
angka gross assets.
Alasan yang disampaikan mengenai penggunaan angka gross assets ialah apabila
depresiasi yang diperhitungkan besarnya meningkat, maka jumlah asset bersih yang
dipaparkan pada neraca perusahaan jumlahnya mungkin berkurang, sementara itu jumlah
fisik "asset" yang tidak produktif besarnya tetap sama. Oleh karena itu, hal ini dapat
membiaskan secara tidak langsung angka return on investment yang dilaporkan karena
pembagi dari rumus tersebut berkurang.
Sasaran penggunaan angka total assets seperti yang tercantum dalam neraca perusahaan
yang sudah diperiksa dimaksudkan untuk mengetahui realisasi setiap rupiah yang
diinvestasikan dalam bentuk sumberdaya ekonomi yang dimanfaatkan oleh perusahaan
NPM =
KEUNTUNGAN NETTO SESUDAH PAJAK
PENJUALAN NETTO
untuk mewujudkan sasaran tujuan tertentu. Pemilihan angka mana yang akan digunakan,
apakah angka net atau gross total assets dalam analisis return on investment, perhatian
utamanya difokuskan kepada faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perputaran (turn
over) dan keuntungan marginal dari penjualan.
D. Konsep Pendapatan Asli Daerah
Pelaksanaan otonomi daerah bisa diwujudkan apabila disertai dengan
otonomi keuangan dan ekonomi yang baik, karena penyelenggaraan otonomi
daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab membutuhkan kemampuan daerah
untuk menggali sumber keuangan sendiri yang didukung oleh perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta antara provinsi dan pemerintah
kota. Hal ini berarti secara finansial daerah tidak tergantung pada pemerintah pusat
dan harus mampu menggali sebanyak mungkin sumber-sumber pendapatan asli
daerah (Dhiratanayakianant, 1984)
Dalam pelaksanaannya berbagai permasalahan masih terjadi di daerah,
mulai dari penyusunan Perda sebagai pelaksanaan otonomi tersebut sampai
dengan masalah klasik terbatasnya dana. Keterbatasan dana di daerah menjadi
massalah yang sangat krusial yang diperkirakan dapat menghilangkan makna
otonomi daerah. Beberapa daerah mengalami kesulitan dalam membiayai
kebutuhan pembangunan daerahnya.
Mengatasi kekurangan dana tersebut beberapa daerah telah mengeluarkan berbagai
Peraturan Daerah (PERDA) sebagai dasar untuk mengenakan pungutan berupa pajak dan
retribusi dalam meningkatkan PAD. Kemampuan daerah untuk melaksanaka otonomi
ditentukan oleh berbagai variabel, yaitu : variabel pokok yang terdiri dari kemampuan
keuangan, organisasi dan masyarakat, variabel penunjang yang terdiri dari faktor geografi
dan sosial budaya serta variabel khusus yang terdiri atas aspek politik dan hukum
(Anonimous, 1998).
Di Indonesia, otonomi daerah diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang
pemerintahan daerah yang titik berat otonomi di daerah kabupaten/kota. Sementara PP
Nomor 25 Tahun 1999 tentang kewenangan pemerintah, disebutkan bahwa unsur-unsur
yang tidak diserahkan atau masih kewenangan pusat yakni peradilan, moneter dan fiskal,
agama serta kewenangan bidang lain yang secara nasional lebih berdaya guna jika tetap
ditangani oleh pemerintah pusat (Anonimous, 1999). Lebih lanjut dikatakan bahwa
Otonomi fiskal daerah adalah kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan
pendapatan asli daerah. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia menunjukkan
derajat otonomi fiskal daerah di negara-negara berkembang termasuk Indonesia masih
rendah. Kondisi ini secara nyata dapat dilihat pada rendahnya PAD.
Suparmoko (1994) menyatakan bahwa sentralisasi fiskal di Indonesia sangat tinggi dan
distribusi bantuan antara provinsi atau kabupaten kota sangat tidak merata. Oleh sebab
itu adanya asas desentralisasi pemerintahan dengan sendirinya setiap daerah harus dapat
mengurus rumah tangga daerahnya secara mandiri serta diwajibkan untuk menggali
segala kemungkinan sumber keuangan sendiri sesuai dengan batas-batas peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Keuangan daerah adalah segala hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang
maupun barang yang dapat dijadikan milik daerah berdasarkan pelaksanaan hak dan
kewajiban. Sumber-sumber pendapatan daerah dalam UU No. 25 Tahun 1999 tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah (UU-PKPD) sebagai berikut
:
b. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
PAD adalah pendapatan yang bersumber dari hasil pajak daerah, retribusi daerah,
hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengolahan kekayan daerah lainnya yang
dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah
disesuaikan dengan kewenangan yang diserahkan kepada daerah provinsi dan daerah
kabupaten/kota dan dipungut berdasarkan Perda (Anonimous,1999)
c. Dana Perimbangan / Dana Transfer.
Pendapatan yang diperolah dari bagian daerah penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) dan penerimaan dari sumber daya alam atau dana yang bersumber dari
penerimaan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan dana
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Bagian daerah dari penerimaan SDA adalah
bagian penerimaan daerah yang berasal dari pengolahan sumber daya alam , antara lain
pertambanganumum, pertambangan minyak dan gas alam, kehutanan dan perikanan.
Dana Alokasi Umum (DAU) yaitu dana yang dialokasikan dengan tujuan pemantauan antar
daerah , sehingga semua daerah mempunyai kemampuan yang relative sama un tuk
membiayai kebutuhan pengeluarannya. Besarnya Dana Alokasi Khusus sekurang-kurangnya
25% dari penerimaan dalam negeri.
Dana Alokasi Khusus yakni dana untuk membantu daerah membiayai kebutuhan khusus,
dengan memperhatikan tersedianya dana dalam APBN. Termasuk dalam Dana Alokasi
Khusus adalah dana reboisasi yang dibagikan kepada daerah penghasilah dengan imbangan
40% untuk daerah dan 60% untuk pusat.
d. Pinjaman Daerah
Pendapatan yang diperoleh bersumber dari pinjaman dalam negeri yaitu berasal dari
pemerintah pusat atau lembaga kemersial atau penerbitan Obligasi daerah dan
pinjaman dari luar negeri melalui pemerintah pusat.
e. Lain-lain penerimaan yang sah.
Dalam undang-undang nomor 25 yang dimaksud dengan lain-lain penerimaan yang
sah antara lain : hibah dana darurat, dan penerimaan lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dana Darurat diberikan jika daerah mempunyai
keperluan yang mendesak dari APBN. Keperluan mendesak yakni terjadinya keadaan
yang sangat luar biasa dan tidak dapat ditanggulangi oleh daerah dengan APBD,
seperti bencana alam, atau keadaanlain yang dinyatakan pemerintah pusat sebagai
bencana Nasional.
E. Kerangka Pemikiran Teoritis
Kaitannya dengan pemberdayaan sektor informal, khususnya pedagang
kaki lima, maka hal penting yang perlu diberdayakan adalah faktor pengelolaan
sumber daya yang dimiliki oleh kelompok pedagang kaki lima itu sendiri untuk
mendorong peningkatan pendapatan/keuntungan (profitabilitas) usaha mereka.
Secara teoritis, beberapa pendapat mengemukakan bahwa terdapat sejumlah komponen
utama yang menentukan suatu usaha produktif dari kelompok masyarakat dapat
bertumbuh dan berkembang dengan efektif, yaitu (1) modal kerja; (2) teknologi tepat
guna; (3) model manajemen usaha; (4) pengembangan keterampilan menyangkut
pemanfaatan modal kerja, teknologi dan manajemen usaha; 5) ethos kerja, semangat dan
disiplin kerja, dan sebagainya (Turang, 1995).
Dari beberapa faktor tersebut, maka penelitian ini hanya membatasi pada
beberapa aspek penting dari pemberdayaan PKL, yaitu : (1) aspek SDM seperti
pendidikan dan latihan/keterampilan (pelatihan) dalam upaya meningkatkan
kemampuan/keterampilan berusaha; (2) aspek permodalan yaitu pemberian
bantuan modal usaha (selain modal sendiri); (3) aspek metode kerja atau
pengelolaan manajemen usaha, yaitu memberikan bantuan teknis berupa
pembukuan (akuntansi) dalam mengelola usaha melalui bimbingan, penyuluhan di
lapangan tentang cara-cara berusaha yang efisien dan efektif; serta (4) aspek
peningkatan pendapatan/profit usaha. Untuk itu perlu dibahas secara berurutan
pengaruh kempat aspek pemberdayaan tersebut terhadap penerimaan pendapatan
asli daerah (PAD), sebagai berikut :
1. Pengaruh pemberian pelatihan terhadap penerimaan PAD
Berbicara tentang pelatihan atau pendidikan dan latihan tidak terlepas kaitannya
dengan konsep managemen sumber daya manusia, sementara managemen sumber daya
manusia itu sendiri adalah bagaimana mengatur atau mengelola manusia sebagai salah
satu unsur utama managemen yang meliputi : kegiatan merencanakan,
mengorganisasikan, menempatkan, menggerakkan, mengendalikan/mengontrol dan
mengevaluasi aktivitas manusia dalam proses pencapaian tujuan. Artinya bahwa jika
kita ingin agar manusia mengoptimalkan produktivitasnya, maka kualitas sumber daya
manusia (SDM) perlu dikembangkan/ ditingkatkan dengan memberikan pendidikan
dan pelatihan/keterampilan yang mmadai dan sesuai dengan tuntutan pekerjaan yang
dilakukan manusia itu sendiri (Soeroto, 1986). Asumsi ini berlaku pula bagi kelompok
pedagang kaki lima (PKL) yang melakukan aktivitas disektor informal, terutama
dibidang ekonomi kerakyatan.
Untuk lebih memahami konsep pengembangan kualitas SDM, berikut
dikemukakan beberapa pendapat para ahli, antara lain : menurut Mangum, dalam
Soeroto (1986) bahwa sumber daya manusia adalah semua kegiatan manusia yang
produktif dan semua potensinya untuk memberikan sumbangan produktif kepada
masyarakat. Zainun (1993) mengartikan dengan daya yang bersumber pada
manusia, yang dapat berupa tenaga (energi) ataupun kekuatan (power). Tenaga
dan kekuatan yang bersumber dari manusia itu dapat berupa ide, ilmu
pengetahuan, endapan pengalaman, dan lain-lain yang berupa potensi fisik, moral
dan intelektual yang berwujud dalam bentuk pendidikan, keterampilan, kesehatan,
dan lain-lainnya.
Notoatmodjo (1992) mengemukakan bahwa berbicara masalah sumber daya
manusia dapat dilihat dari dua aspek, yaitu menyangkut kuantitas dan kualitas,
kuantitas menyangkut jumlah sumber daya manusia (penduduk) sedangkan
kualitas menyangkut mutu sumber daya manusia tersebut. Lebih lanjut dijelaskan,
bahwa berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia juga menyangkut dua
aspek, yakni aspek fisik (kualitas fisik), dan aspek non fisik (kualitas non fisik)
yang menyangkut kemampuan bekerja, berpikir, dan keterampilan-keterampilan
lain. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat diarahkan kepada
dua aspek tersebut. Upaya untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia pada
kedua aspek tersebut inilah yang dimaksudkan dengan pengembangan sumber
daya manusia.
Bank Dunia (1990) menkonsepsikan pengembangan kualitas sumber daya
manusia adalah menyangkut pengembangan manusia (human development), yaitu
menyangkut pengembangan aktivitas-akitivitas dalam bidang-bidang pendidikan dan
latihan, kesehatan, gizi, kesemepatan kerja, lingkungan hidup yang sehat, pengembagan
karier ditempat kerja, dan kehidupan politik yang bebas. Pengertian ini diperluas
kembali oleh CIDA, dalam Effendi (1993) dengan mengatakan bahwa pengembangan
sumber daya manusia adalah upaya untuk mengembangkan manusia, yaitu proses
peningkatan kualitas atau kemampuan manusia (melalui investasi pada manusia itu
sendiri) dan pada pemanfaatan kemampuan itu (melalui penciptaan kerangka
keterlibatan manusia) untuk mendapatkan penghasilan dan perluasan peluang kerja.
Peluang kerja yang dimaksud di sini, menurut CIDA, dalam Effendi (1993)
ditujukan pada kelompok sasaran untuk mempermudah mereka melibatkan diri
dalam sistem sosio-ekonomi di negara itu. Kelompok sasaran termasuk wanita,
tuna wisma, penduduk miskin di desa dan kota, penduduk usia muda, masyarakat
terpencil, dan lain-lain.
Dalam hubungan ini, Suseno (1995) menjelaskan secara lebih luas konsep
pengembangan sumber daya manusia. Dikatakan bahwa pengembangan sumber
daya manusia dapat mencakup peningkatan partisipasi manusia, yaitu peningkatan
pasrtisipasi manusia melalui perluasan kesempatan untuk mendapatkan penghasilan,
dan perluasan berusaha. Dengan pengertian ini maka pengembangan sumber daya
manusia adalah upaya meningkatkan keterlibatan manusia dalam proses
pengembangan, baik dalam dimensi hak maupun dimensi kewajiban. Dalam
dimensi hak, maka setiap warga masyarakat mempunyai hak-hak pengembangan
yang dapat dinikmati berupa kemudahan-kemudahan memeproleh fasilitas
kehidupan atau yang berupa barang dan jasa yang diperoleh sebagai kontraprestasi
kerja yang dilakukan; sedangkan dalam dimensi kewajiban, setiap warga
masyarakat mempunyai kewajiban turut serta dalam proses pengembangan.
Sinungan (1987) menyimpulkan bahwa sumber daya manusia adalah
pemanfaatan potensi yang ada pada kemampuan manusia itu sendiri dalam
melakukan pekerjaan dengan baik dan dengan tingkat keterampilan yang sesuai
dengan isi kerja yang akan mendorong kemajuan setiap usaha yang pada
gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan pencapaian tujuan usaha bisa
terselenggarakan dengan baik, efektif dan efisien.
Dengan demikian, aspek pengembangan SDM yang berhubungan dengan
pendidikan dan latihan/keterampilan, Hidayat (1980) mengemukakan bahwa
meningkatnya kualitas sumber daya manusia, yang antara lain meliputi pengetahuan
dan keterampilan akan menimbulkan inisiatif-inisiatif dan meningkatkan produktifitas.
Hampir senada dengan itu, Todaro (1983) mengemukakan bahwa pengetahuan dan
keterampilan memungkinkan orang untuk bekerja lebih baik. Dengan bekerja keras,
seseorang dapat meningkatkan produktivitasnya, maka akan meningkat pula
pendapatan/penghasilan (profit) usaha mereka, sehingga memiliki kemampuan untuk
merealisasikan kewajiban sebagai warga negara seperti membayar pajak, retribusi dan
kewajiban lainnya yang pada gilirannya akan meningkatkan penerimaan pemerintah
daerah dari sisi PAD.
2. Pengaruh bantuan modal terhadap penerimaan PAD
Selain pendidikan dan latihan, dalam setiap usaha, modal usaha sangat
besar peranannya dalam meningkatkan pendapatan atau keuntungan (profit) usaha.
Hal ini ditegasikan oleh Turang, (1995) bahwa diantara sejumlah komponen
utama yang menentukan suatu usaha produktif dari kelompok masyarakat dapat
bertumbuh dan berkembang dengan efektif, salah satunya adalah modal kerja;
selain teknologi tepat guna; model manajemen usaha; pengembangan keterampilan
menyangkut pemanfaatan modal kerja, teknologi dan manajemen usaha; ethos
kerja, semangat dan disiplin kerja. Artinya bahwa tanpa modal usaha yang
memadai, setiap usaha akan mengalami kesulitan dalam melakukan peroses
usahanya, baik memproduksi barang-barang maupun melakukan transaksi jual-beli
barang, karena hal demikian tidak mungkin dilakukan tanpa adanya modal usaha.
Pada satu sisi, walaupun suatu usaha telah memiliki modal sendiri namun
jumlahnya terbatasa, maka akan mengalami pula kesulitan untuk mengembangkan
usahanya sehingga kurang berpeluang untuk bersaing serta memperoleh
pendapatan atau keuntungan yang memadai; dan di sisi lain, bahwa walaupun ada
modal yang cukup, namun tidak dikelola secara baik, efisien dan efektif, akan
menimbulkan pemborosan bahkan mengalami kerugian dalam berusaha.
Dengan demikian pemberian modal kerja (modal untuk berusaha) akan
dapat mendorong pengembangan usaha PKL sehingga dapat meningkatkan
pendapatan yang pada gilirannya akan memenuhi kewajiban untuk membayar
retribusi daerah sebagai sebagai salah satu komponen penerimaan PAD.
3. Pengaruh cara-cara mengolah usaha terhadap penerimaan
PAD
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya bahwa pendidikan dan latihan
serta modal usaha belum secara otomatis dapat menjamin suatu usaha mampu
meningkatkan profit usahanya tanpa didukung dengan suatu cara-cara atau
manajemen pengelolaan usaha yang baik, dalam arti memenuhi suatu tingkat
efisiensi dan efektivitas pengelolaan usaha tersebut.
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan secara teoritis bahwa
pemberdayaan sektor informal yang berkaitan dengan pengelolaan unsur manusia
(pendidikan dan latihan), unsur uang (modal usaha) dan cara-cara berusaha yang
baik, baik secara simultan maupun secara parsial berpengaruh positif terhadap
pendapatan atau penghasilan (profit usaha) pedagang kaki lima dan pada
gilirannya akan memberikan kontribusi pada penerimaan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) khususnya di Kota Manado.
F. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran teoritis tersebut, maka dibanguan hipotesis penelitian
yang dapat dirumuskan sebagai berikut :
1) Pemberian pendidikan dan latihan (pelatihan) pedagang kaki lima berpengaruh positif
dan signifikan terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Manado.
2) Peemberian bantuan modal usaha punya pengaruh positif dan signifikan terhadap
penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Manado.
3) Cara-cara mengolah usaha mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap
penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Manado.
4) Pendapatan atau penghasilan (profit) usaha pedagang kaki lima memberikan
kontribusi positif dan signifikan terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah
(PAD).
5) Secara simultan pemberian pendidikan dan latihan (pelatihan), bantuan modal, caracara
mengolah usaha dan pendapatan atau penghasilan (profit) usaha pedagang kaki
lima berpengaruh positif dan signifikan terhadap penerimaan Pendapatan Asli Daerah
(PAD) Kota Manado.

Definisi sisiologi

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari masyarakat. [1] Ini adalah ilmu-sosial jangka waktu dengan yang kadang-kadang sinonim-yang menggunakan berbagai metode penyelidikan empiris [2] dan analisis kritis [3] untuk mengembangkan dan memperbaiki tubuh pengetahuan tentang aktivitas sosial manusia, seringkali dengan tujuan untuk menerapkan pengetahuan tersebut untuk mengejar kesejahteraan sosial. Pokok berkisar dari tingkat mikro badan dan interaksi dengan tingkat makro sistem dan struktur sosial. [4]

Sosiologi adalah baik topikal dan metodologis suatu disiplin yang sangat luas. tradisionalnya berfokus telah memasukkan stratifikasi sosial, kelas sosial, mobilitas sosial, agama, hukum, dan penyimpangan. Karena semua bidang kegiatan manusia dipahat oleh struktur sosial dan agensi individu, sosiologi secara bertahap memperluas fokusnya untuk mata pelajaran lebih lanjut, seperti lembaga kesehatan, militer dan pidana, Internet, dan bahkan peran kegiatan sosial dalam pengembangan pengetahuan ilmiah .

Kisaran metode ilmiah sosial juga luas berkembang. Sosial peneliti memanfaatkan berbagai teknik kualitatif dan kuantitatif. Berubah linguistik dan budaya dari pertengahan abad kedua puluh menyebabkan semakin pendekatan interpretatif, hermeneutika, dan filosofis dengan analisis masyarakat. Sebaliknya, beberapa dekade terakhir telah melihat munculnya baru analitis, matematis dan komputasi teknik ketat, seperti model berbasis agen dan analisis jaringan sosial [5] [6].
Origins
Auguste Comte

alasan sosiologis mendahului dasar dari disiplin. Analisis Sosial memiliki asal-usul dalam saham biasa pengetahuan Barat dan filsafat, dan telah dilakukan dari setidaknya awal sebagai waktu Plato. Asal dari survei ini dapat ditelusuri kembali setidaknya awal sebagai Kitab Domesday di 1086, [7] [8] sementara filsuf kuno seperti Konfusius menulis tentang pentingnya peran sosial. Ada bukti dari sosiologi awal dalam Islam abad pertengahan. Beberapa menganggap Ibn Khaldun, seorang cendekiawan abad ke-14 Islam Arab dari Afrika Utara, telah menjadi sosiolog pertama;. Nya Muqaddimah mungkin merupakan karya pertama untuk memajukan penalaran sosial-ilmiah mengenai kohesi sosial dan konflik sosial [9] [10] [11 ] [12] [13] [14]

Sosiologi kata (atau "sociologie") adalah berasal dari bahasa Latin: "pendamping", socius;-ology, "studi tentang", dan λόγος Yunani, logo, "kata", "pengetahuan". Ini pertama kali diciptakan pada tahun 1780 oleh Emmanuel-Joseph esais Perancis Sieyès (1748-1836) dalam sebuah naskah yang tidak dipublikasikan. [15] Sosiologi kemudian didefinisikan secara independen oleh filsuf Perancis ilmu pengetahuan, Auguste Comte (1798-1857), pada 1838. [16] Comte sebelumnya menggunakan istilah "fisika sosial", tetapi yang kemudian telah disesuaikan oleh orang lain, terutama statistik Belgia Adolphe Quetelet. Comte berusaha untuk menyatukan sejarah, psikologi dan ekonomi melalui pemahaman ilmiah dari bidang sosial. Menulis segera setelah malaise Revolusi Perancis, ia mengusulkan bahwa penyakit sosial dapat diperbaiki melalui positivisme sosiologis, pendekatan epistemologis diuraikan dalam The Course in Philosophy [1830-1842] Positif dan A View Umum Positivisme (1848). Comte percaya tahap positivis akan menandai era terakhir, setelah tahap teologis dan metafisik dugaan, dalam perkembangan pemahaman manusia [17] Dalam mengamati ketergantungan melingkar teori dan observasi dalam sains., Dan memiliki klasifikasi ilmu-ilmu, Comte dapat dianggap sebagai filsuf pertama ilmu pengetahuan dalam pengertian modern istilah itu. [18]
 
Definisi sosiologi menurut para ahli
Berikut ini definisi-definisi sosiologi yang dikemukakan beberapa ahli:
1. Emile Durkheim
Sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari fakta-fakta sosial, yakni fakta yang mengandung cara bertindak, berpikir, berperasaan yang berada di luar individu di mana fakta-fakta tersebut memiliki kekuatan untuk mengendalikan individu.
2. Selo Sumardjan dan Soelaeman Soemardi
Sosiologi adalah ilmu kemasyarakatan yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial termasuk perubahan sosial.
3. Soejono Sukamto
Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada segi-segi kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola umum kehidupan masyarakat.

4. William Kornblum
Sosiologi adalah suatu upaya ilmiah untuk mempelajari masyarakat dan perilaku sosial anggotanya dan menjadikan masyarakat yang bersangkutan dalam berbagai kelompok dan kondisi.
5. Allan Jhonson
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku, terutama dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagaimana sistem tersebut mempengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat didalamnya mempengaruhi sistem tersebut.
6. Menurut Roucek & Waren, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dengan kelompok sosial.
7. Menurut Soerjono Soekanto, sosiologi adalah ilmu yang kategoris, murni, abstrak, berusaha mencari pengertian-pengertian umum, rasional, empiris, serta bersifat umum.
8. Pitirim Sorokin
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya gejala ekonomi, gejala keluarga, dan gejala moral), sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan gejala non-sosial, dan yang terakhir, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari ciri-ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial lain.
9. Roucek dan Warren
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok.
10. William F. Ogburn dan Mayer F. Nimkopf
Sosiologi adalah penelitian secara ilmiah terhadap interaksi sosial dan hasilnya, yaitu organisasi sosial.
11. J.A.A Von Dorn dan C.J. Lammers
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur-struktur dan proses-proses kemasyarakatan yang bersifat stabil.
12. Max Weber
Sosiologi adalah ilmu yang berupaya memahami tindakan-tindakan sosial.
13. Paul B. Horton
Sosiologi adalah ilmu yang memusatkan penelaahan pada kehidupan kelompok dan produk kehidupan kelompok tersebut.
Dari berbagai definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :
Kesimpulannya sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara individu dengan individu, individu dengan masyarakat, dan masyarakat dengan masyarakat.
Selain itu, Sosiologi adalah ilmu yang membicarakan apa yang sedang terjadi saat ini, khususnya pola-pola hubungan dalam masyarakat serta berusaha mencari pengertian-pengertian umum, rasional, empiris serta bersifat umum.